Belajar Berbeda dan Menerima Perbedaan

by Fadhli

Sejujurnya saya adalah orang yang jarang berbicara di rumah, kecuali kepada adik, hingga sekarang. Padahal orang rumah pun mungkin tahu saya termasuk aktif jika di luar, berbagai plakat dan sertifikat menjadi peserta, moderator atau pengisi acara baik tingkat kampus, lokal, nasional, bahkan beberapa kali regional kerap saya bawa ke rumah. Saya mengumpamakannya dengan macan kumbang di luar, singa masai kalo di rumah.

Jangankan berbeda pendapat, berani berpendapat saja saya sering urungkan dalam hati. Tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta, tapi hak prerogatif untuk benar seringnya bukan milik kami bahkan untuk sekedar hal teknis :). Beruntung saya sempat diasuh lama oleh Oma (Nenek dari Ibu, semoga Allah melapangkan kuburnya dan memberinya surga kelak). Dulu hanya kepada beliau lah saya bisa bertanya kenapa mesti begini atau begitu atas sesuatu hal, bahkan berdiskusi tentang buku karena hobinya membaca (apa saja) hingga usia senja. Pengalamannya sebagai guru sekolah rakyat mungkin memberinya cita rasa untuk menjelaskan sesuatu atas pertanyaan-pertanyaan padanya.

Di luar rumah itulah atmosfir untuk berani angkat bicara, berpikir kritis, dan berbeda pendapat lebih saya dapatkan. Umumnya melalui interaksi dengan mereka yang berbeda karakter, pemikiran, sikap. Semakin berinteraksi dengan banyak kalangan, semakin mengerti bahwa perbedaan, terutama dalam masalah teknis atau preferensi, adalah sebuah keniscayaan. Dari situ saya belajar menjadi orang yang supel, walaupun organisasi yang saya ikuti cenderung bersifat homogen.

Pelajaran angkat bicara saya mulai di akhir SD, tetapi awalnya terbatas pada guru-guru tertentu yang saya anggap juga akan mengakomodasinya. Suatu hari saya berani mengaku berbuat salah ketika ada kegaduhan di kelas, karena saya tahu guru itu baik dan tidak akan berlebihan dalam menghukum muridnya dan tidak tampak emosional. Sebaliknya jika di rumah, jika ada kesalahan sering disembunyikan karena takut hukumannya baik secara lisan maupun fisik. Kejujuran jadi tertutupi oleh ketakutan berbuat salah. Padahal berbuat salah bagi anak kecil adalah keniscayaan dan pembelajaran.

Di SMP keberanian angkat bicara juga muncul, walaupun seringnya karena “terpaksa” atau “ditunjuk” menjawab suatu hal. Tapi di kelas 3, saya pernah memberanikan diri bertanya kepada guru yang katanya paling killer se-SMP di kelas saat suasana sedang tegang. Pertanyaan saya tetap dimentahkan. Tapi selanjutnya dengan guru itu menjadi cukup akrab, bahkan yang menemani saya ikut Lomba Siswa Teladan kala itu.

Saya juga tidak gentar saat jelang Ebtanas dipanggil guru BP, karena dianggap menginisiasi liga sepakbola ilegal kurang dari dua atau satu pekan sebelum Ebtanas. Saya menjelaskannya. Justru yang saya pikirkan kalau kasus ini ketahuan orang rumah, bisa habis saya.

Di SMA, kurikulum berbasis kompetensi memacu untuk berpendapat di hadapan banyak orang dalam presentasi dan diskusi kelas. Saya sempat juga mengikuti lomba debat, walaupun kalah. Buku bacaan saya pun bertambah.

Semasa kuliah, bukan hanya berani angkat bicara, tetapi berani berbeda pendapat yang dilatih. Harus diakui organisasi yang saya ikuti saat kuliah cenderung homogen. Saya mendapat pengayaan dari buku-buku lain, dan kawan-kawan asrama beasiswa yang berpengaruh pada keberanian berpikir kritis. Oleh karenanya saya sering berbeda pendapat bahkan debat bukan hanya dengan kelompok lain (organisasi dengan karakter serupa) maupun di internal organisasi sendiri.

Hingga suatu hari saya berdebat keras dengan salah satu kawan dekat hingga berurat-urat. Tapi di situ saya mendapat pelajaran lain yang berharga, selain berani angkat bicara, berani berbeda pendapat, adalah menerima perbedaan pendapat itu sendiri apalagi dalam hal teknis atau preferensi semata. Nyatanya kami tetap berhubungan baik hingga kini, hal yang sama dengan yang saya upayakan untuk setiap orang lain. Itu bisa.

Preferensi saya pada satu hal juga tidak berarti saya tidak menyukai yang lain secara keseluruhan. Kalau saya tidak suka buku dari penulis tertentu, bukan berarti saya membenci orangnya, hanya style tulisannya aja yang ga sreg. Kalau saya tidak suka program tertentu dan saya mengkritisinya, bukan hilang respek saya pada kegiatan itu. Nah kemampuan menerima perbedaan itu adalah, jika saya juga tidak mengusik mereka karena itu preferensi mereka juga. Saya hanya menyampaikan pendapat saya begini, silakan masing-masing.

Pada akhirnya saya harus bersiap dengan perbedaan di kemudian hari, sekalipun dengan orang-orang terdekat, dalam pengalaman ini untuk generasi anak nantinya dengan tujuan agar berkembang akal dan hati mereka dan bahwa kebenaran bisa jadi banyak jalannya.