Rinjani. Sepulang dari Semeru Juni 2013 sudah menjadi target berikutnya. Dalam sticky note yang ditempel di peta di dinding kamar, saya tulis “Rinjani, 2014.” Kompanion yang juga menginginkan pergi ke sana adalah Balad.
Waktu berlalu, namun rencana belum ditindaklanjuti secara serius. Hingga tibanya racun itu menghantui menjadi hantu yang meracuni #naonatuh. Adalah Tempo Edisi Spesial pake 100 Surga Tersembunyi di Indonesia yang menjadi pemicunya. Dikompori Lila, saya turut membelinya. Rinjani tertera menjadi salah satu “surga.” Tetapi itu tidak melalui jalur biasa. Jalur Torean yang ngeri-ngeri sedep menjadi harga untuk itu.
Racun-racun terus menghiasi laman chat grup kami, gambar dari mereka yang sudah pergi ke sana seperti mengejek kami, “Mari ke mari…” *pake emot melet. Indah sih indah, tapi eddaann karena… ntar diceritainnya, semua ada waktunya, kawan. Ini masih pembukaan.
Januari 2014 tiba. Kawan-kawan saya: Fajar, Moa, Lila ditambah saksi Icrut bermain ke Bandung, jalan-jalan. Eh, ternyata ada agenda sampingan yaitu lobi-lobi agenda perjalanan jauh. Singkatnya mereka saling loba-lobi intrak-intrik, saling sandera posisi dan politik dagang combro (sapi kemahalaan :)).
Keputusan akhirnya jatuh pada Rinjani via Torean dan Wakatobi dengan syarat: yang ngusulin Wakatobi ikut Rinjani, yang ngusulin Rinjani ikut Wakatobi. Aturan ga berlaku pada saya yang bermain aman. Hhaa… Wakatobi nyelem soalnya coy, belom bisaa. Saya hanya ikut Rinjani. Digoyang kayak gimana juga cengengesan aja lah :). Agenda pun ditempel di “mading” Ngetengmania. Beberapa yaang lain menyatakan hendak turut.
Waktu berlalu, sampai Maret yang sudah pegang tiket berangkat: Lila, Moa, Andin, Azmi, Balad dan saya. Bulan April tiba, Andin dan Azmi undur diri, sementara Lila, Moa, Balad dan saya melanjutkan membeli tiket pulang. Ada tambahan kawan Moa yang bernama Eko memastikan bergabung. Fajar yang dulu termasuk paling aktif melobi ternyata masih fifty-fifty.
Sebagai informasi, Saya, Balad dan Lila akan melakukan rute perjalanan via Bali tanggal 12 Mei. Pengiritan, maklum mahasiswa. Sementara Moa dan Eko langsung ke Lombok tanggal 14 Mei. Setelah kami bertemu nanti, pendakian akan dimulai 15 Mei.
Secara pribadi, saya sempat terguncang prahara sedikit karena ada matakuliah yang akan ujian, termasuk tugas setara ujian, yang waktunya bisa jadi beririsan dengan jadwal perjalanan. Tapi Bismillah saya putuskan untuk lanjut. Lobi-lobi sekretariat akademik nanti. Pendakian puncak gunung api tertinggi kedua se-Nusantara niih… 🙂
Hingga tibanya H-1 sebelum keberangkatan kami ke Bali, Balad ikut mengundurkan diri. Ini awal huru-hara, walaupun berujung hepi buat Ardi. Dia ditomplokin rejeki tiket gratis limpahan Balad.
Di pihak lain, Fajar mengupayakan tiket walaupun masih fifty-fifty. Urusan jumlah tenda yang bikin belibet. Ardi bingung karena diminta bawa tenda lebih padahal jumlah peserta belum pasti. Moa tampak emosi membela Ardi. Fajar terus kasih umpan lobi. Hahaha.
Lupakan urusan tenda. Kami yang jalan via Bali tetap harus berangkat esok hari. Maka 12 Mei, saya berangkat dari Bandung menuju Bandara Soekarno-Hatta. Di sana bertemu Ardi dan Lila untuk terbang ke Bali… ngeeeeeng ckes ckes… 🙂