Selintas Tulis

Tulisan Sekali Duduk..

Tag: anak

Kawan-Kawan Kecil dari Cirendeu :)

Aaah… senang dan cekikikan sendiri saat mendapat kiriman video ini.

Mereka adalah anak-anak tangguh, ceria, dan aktif. Nampaknya sudah lebih banyak cerita yang mereka buat setelah saya lama tidak berjumpa.

Terakhir berjumpa mungkin Maret lalu. Sedih dulu ga sempat-sempat nengokin walaupun beberapa kali berusaha bikin janji. Mudah-mudahan doa mereka membersamai saya!

Terima kasih Lila yang sudah merekam, Devi yang sudah mengorganisasikan acaranya, dan Gandes yang turut menemani kawan-kawan tersebut…

Belajar Berbeda dan Menerima Perbedaan

Sejujurnya saya adalah orang yang jarang berbicara di rumah, kecuali kepada adik, hingga sekarang. Padahal orang rumah pun mungkin tahu saya termasuk aktif jika di luar, berbagai plakat dan sertifikat menjadi peserta, moderator atau pengisi acara baik tingkat kampus, lokal, nasional, bahkan beberapa kali regional kerap saya bawa ke rumah. Saya mengumpamakannya dengan macan kumbang di luar, singa masai kalo di rumah.

Jangankan berbeda pendapat, berani berpendapat saja saya sering urungkan dalam hati. Tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta, tapi hak prerogatif untuk benar seringnya bukan milik kami bahkan untuk sekedar hal teknis :). Beruntung saya sempat diasuh lama oleh Oma (Nenek dari Ibu, semoga Allah melapangkan kuburnya dan memberinya surga kelak). Dulu hanya kepada beliau lah saya bisa bertanya kenapa mesti begini atau begitu atas sesuatu hal, bahkan berdiskusi tentang buku karena hobinya membaca (apa saja) hingga usia senja. Pengalamannya sebagai guru sekolah rakyat mungkin memberinya cita rasa untuk menjelaskan sesuatu atas pertanyaan-pertanyaan padanya.

Di luar rumah itulah atmosfir untuk berani angkat bicara, berpikir kritis, dan berbeda pendapat lebih saya dapatkan. Umumnya melalui interaksi dengan mereka yang berbeda karakter, pemikiran, sikap. Semakin berinteraksi dengan banyak kalangan, semakin mengerti bahwa perbedaan, terutama dalam masalah teknis atau preferensi, adalah sebuah keniscayaan. Dari situ saya belajar menjadi orang yang supel, walaupun organisasi yang saya ikuti cenderung bersifat homogen.

Read the rest of this entry »

Diskusi tentang Kekerasan terhadap Anak

Dalam sebuah diskusi kelompok untuk menyeleksi beasiswa, para fasilitator memberikan selembar kasus untuk dipelajari. Temanya tentang kekerasan terhadap anak usia dini di sekolah internasional yang belakangan terkenal di media massa. Setelah memberi instruksi singkat, fasilitator menyerahkan sepenuhnya mekanisme diskusi kepada peserta.

Maka kami mulai membaca kasus yang diberikan. Setelah semua selesai, saya angkat suara, “Bagaimana nih pengaturannya?” Dan seorang mengambil inisiatif menjadi moderator, bukan saya. Setelah perkenalan, seorang yang lain mengambil inisiatif memberikan pendapatnya pertama kali. Saya sendiri mencorat-coret ide saya dulu di selembar kertas. Pendapat dari orang pertama tersebut mengafirmasi artikel studi kasus yang menyatakan bahwa ada yang salah dengan kemampuan observasi guru terhadap muridnya sehingga kekerasan yang terjadi tidak terdeteksi. Setelah itu lanjut moderator turut memberi pendapat. Masih seputar guru. Selanjutnya saya ditawari berbicara, tapi saya tawarkan dulu kepada yang lain. Oleh pembicara sebelum saya ini, parenting disebut-sebut tapi titik tekannya pada guru yang seharusnya juga memiliki kemampuan untuk itu.

Selanjutnya saya. Saya ingin membuat strike, terlebih waktu yang disediakan masih sangat banyak. Diskusi akan agak monoton dan tidak menarik jika tidak ada poin tambahan. Maka saya menarik pendapat ke titik pandang yang lebih luas.

“Ini bukan sekedar masalah guru. Tapi kita harus pertanyakan kembali apa yang hendak dicapai orang tua dengan menyekolahkan anaknya di sekolah dengan gelar internasional? Mereka adalah kelas menengah ke atas yang mungkin jarang memiliki waktu berkualitas dengan anak. Komunikasi dengan anak tentang sekolah mungkin sekedar mempertanyakan berapa nilai anak dan bisa apa tadi di sekolah, bukan bagaimana kondisi anak belajar di sekolah dan adakah hambatan yang dirasakan. Seharusnya tidak demikian,orang tua pun harus memiliki kemampuan mengobservasi anak, apalagi jika penyelidikan terakhir mengindikasikan bahwa guru juga terlibat dalam kasus kekerasan tersebut. Padahal kita bergantung pada guru dalam mengamati perubahan yang terjadi pada anak.” Dari kejauhan, saya lihat fasilitator turut mengangguk-anggukan kepala.

“Selain itu, elemen sekolah bukan hanya guru. Nyatanya yang telah terbukti melakukan kekerasan adalah petugas kebersihan. Lagi-lagi, bisakah kita memastikan bahwa anak kita yang “dikurung” dalam sekolah yang konon keamanannya ketat bisa aman dari semua aspek di sekolah. Bisakah sekolah menjamin?”

“Ketiga, jelas ini urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal hukum dan admimistrasi. Bagaimana bisa sekolah yang bergelar internasional tidak memiliki izin bertahun-tahun di Indonesia.” Saya coba juga naikkan tensi diskusi, “Ya kalau saya setujulah bubarkan aja itu sekolah, tentu tanpa mengorbankan siswa dan orang tua. Tugas kementerian dibantu aparat terkait bagaimana mengaturnya.”

Read the rest of this entry »

Bocah Ujung Jalan

Semenjak saya kuliah lagi di Bandung dan tinggal di rumah, ada anak tetangga di ujung jalan yang sekarang kelas 3 SD, suka ngintilin dan kadang gangguin saya kalo ke masjid, terutama waktu maghrib dan isya.

Belakangan, sesuai arahan saya, dia kasih kode tepuk tangan dua kali di dekat jendela kamar saya sebagai tanda dia sudah menuju masjid. Biasanya saya cuma nyahut, “Oi duluan, oi…

Saya emang suka datang belakangan dibanding dia. Tapi dia suka nunggu saya sebelum sholat mulai, kadang di depan pintu bagian luar mesjid. Kalau barisan sudah mau mulai, dia ambil tempat di samping kanan.

Kalau lagi kumat ada aja aksinya, mulai dari gigitin tangan saya bagian atas siku, gulung lengan baju sampe bahu, mukul-mukul tangan, elus-elus telapak kaki kalo lagi sujud, megang-megang jari pas tasyahud, liatin muka saya. Respon saya atas semua itu, ya diam lah, orang lagi sholat. Hehe. Saya juga ga marahin dia.

Kalau posisi sholat kita agak jauh, pas imam udah salam dia nyamperin sambil gelendotan, “Hayuk atuh (pulang).” Saya bilang ntar dong, doa dulu. Dia nungguin sampe kita pulang bareng.

Saya orang yang cenderung ga bisa unyu-unyuan dalam bermain bersama anak. Kata-kata saya ga bisa disetting misalnya jadi, “iiih lutuna adek…” “uuh cep cep cep jagooaaan” haha. Sebelum hijrah ke Depok untuk kuliah (S1), dulu saya pernah ngajar ngaji anak-anak tetangga di rumah (sekarang mereka udah SMA bahkan ada yang udah kuliah). Perasaan cara ngajar dan pembawaan bicara saya cool-cool aja, tapi sebagian dari mereka kalo udah selesai ngajinya maen gelayutan di otot tangan, saya juga suka gangguin atau becandain.

Kasus pendekatan awal untuk anak ujung gang ini hanya coba mengetahui hobinya. Pasalnya dia suka pake kostum sekolah sepakbola yang diikutinya. Jadilah pembicaraan menuju rumah saat pulang tentang bola. “Kamu jago ga??” Gitu biasanya saya tanya untuk menantang hingga dia mensimulasikan tendangannya atau sundulannya di jalan. Itupun masih suka saya ledek, “Yah gitu doaang?” Tambahan bahan jalan pulang paling saya ambilin kunang-kunang kalo lagi ada, atau ajarin niup tangan yang bisa bikin suara.

Entah ini sesuai atau ga dengan kaidah pendidikan untuk anak, yang jelas ini salah satu cara saya untuk berkawan dengan bocah. Seperti kasus lain dengan anak “Mbak” yang ngasuh saya waktu kecil dulu. Ga pake basa-basi setelah liat dia bawa-bawa layangan, saya tanya, “Emang kamu bisa maen? Coba mana yuk liat.” Akhirnya saya yang nerbangin, dengan kontribusi dia megang layangannya sebagai ancang-ancang “take off.” Abis itu sebelum pulang saya godain, “Ikut ga (ke rumah saya)?” Dia bilang mau. Hehe. Walaupun orang tuanya ga mengizinkan karena jarak rumah kami beda kota.

Pernah di lapangan futsal ada anak senior yang baru kali itu juga ketemu, dia nangis karena dilarang ayahnya bergabung bersama kami para orang tua karena memang sebelumnya hampir terkena tendangan. Akhirnya saya yang misah sama anak tersebut, saya bilang, “Sini ga usah nangis, kalo mau maen di sini…” Setelah berkali-kali dibujuk jadilah saya yang “ngasuh” dia di gawang yang ga dipake. Biar dia seneng saya acting jadi kiper.

Haha. Jadi kayak pamer bisa pedekate cepat dengan bocah gini. Ga koq, ga semua juga berhasil. Itu cuma cara saya aja.

Mudah-mudahan si Bocah ujung jalan tetap rajin dan jadi anak yang baik, pintar dan berbakti.

Tabik