Ceritanya ini mau ikut-ikutan gaya laman dengan judul yang dimulai dengan sekian hal paling fantastis, atau sekian alasan untuk melakukan ini itu, dan yang sejenisnya. Maka katakan saja ini 4 sindrom berfoto yang dilakukan mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri untuk menunjukkan eksistensi diri (panjang bwenerrrr). Sungguh, sebagiannya juga terjadi pada diri saya.
1. Berfoto di bandara yang menunjukkan negara tujuan
Saat mendarat, dan mengambil bagasi, tidak lupa mencuci muka kemudian mencari plang bandara yang menunjukkan bahwa dirinya sudah sampai di negara tujuan. Unggah di media sosial yang dipunya, mulai dari fb, twitter, instagram, foto profil WA, line, bahkan seandainya friendster dan multiply masih ada. Ratusan like didapat. Senang dan tidur nyenyak. Hal yang sama dilakukan jika menyinggahi kota lain melalui berbagai moda transportasi.
2. Berfoto di tempat-tempat yang menunjukkan kayak di luar negeri
Segera setelah mulai beradaptasi dengan kota, berfoto di tempat yang menunjukkan bahwa yeaaah ini sudah di luar negeri. Mulai dari depan kampus, rumah orang yang ga tau siapa tapi karena bagus dipotret aja, semua patung, gang-gang jalanan, pantai, stasiun, naik tram, halte bis, pasar, kalau perlu selokan. Tidak lupa aktivitas misalnya sedang kuliah, olahraga, bersepeda, makan, minum, belanja, ibadah, bahkan tidur sekalian kalau bisa difoto. Hihihi… Semakin dirasa keren jika sudah mulai bertebaran ke bumi lain, dengan ikon-ikonnya, tidak lupa diiringi dengan status “Touching down Kota Romantis, Paris, and heading to Kota Manis, Ciamisss” Jauh beneeeer… 😀
3. Berfoto bersama bule-bule
Mulai dari temen di kampus dari berbagai negara dirasa plus dengan mereka yang dianggap favorit dan terkenal di kampus, atau pak polisi yang ditemui di jalan, orang yang ga dikenal di depan taman, pokoknya buleee… “liat nih gw sekarang anak global, temennya lintas dunia bho!”
4. Berfoto hasil masakannya
Entah rasanya bagaimana, yang penting terlihat bisa masak dulu, seakan menyampaikan pesan, “Lihat Mama, anakmu sekarang sudah mandiri!” (dan di luar ada yang memanggil kayak iklan lawas, “Ayo Di, kita main bola lagi!“) :D. Setelah itu diunggah di media sosial dengan status, “hanya bisa memasak ini” dan mendapat komentar, “Wah keren, cowok bisa masak itu seksi” Seksi konsumsi?? 😀 atau “Wah Mbak, tetep ya di luar negeri seleranya Indonesia!” masaknya Soto Mie, Soto Mie yang menjadi bumbu Indomie 😀
Demikian lah 4 hal yang biasanya menjadi sindrom berfoto mahasiswa yang sedang studi di luar negeri. Semuanya tergantung niat dan tujuan, tidak ada larangan ataupun anjuran.
Saya sendiri menganggap bahwa foto adalah salah satu alat kenangan. Yang seharusnya juga dipikirkan adalah kenangan apa yang ingin kita tinggalkan di sini, dan yang ingin disebarkan kepada orang lain yang belum mendapat kesempatan seperti kita. 😀
Foto dari berbagai sumber: dokumentasi pribadi, Facebook PPI Belanda, PPI Kota Den Haag, komunikasi Whatsapp personal dan grup LPDP PK-14 Belanda
Keterangan (berurutan dari atas ke bawah dan kiri ke kanan jika gambar dalam baris lebih dari 1):
PPI Kota Den Haag
Mahasiswa Indonesia di Int’l Institute of Social Studies dengan Dubes (baru) Belanda untuk Indonesia Rob Swartbol
Kunjungan Lapangan ke Peternakan Organik di Utrecht dengan Jurusan – Tur Kanal Jurusan
Dengan Prof. Salim Said (depan bertopi) saat Lingkar Inspirasi PPI Belanda tentang Sumpah Pemuda
Dengan Sekjen PPI Belanda 2014 – 2015 (tengah) dan kandidat Sekjen lain – Awardee LPDP PK-14 dengan Ibu Retno L. Marsudi (dulu masih Dubes RI untuk Belanda, sekarang Menlu)
Dengan punggawa-punggawa goweser PSMIL Unpad – Dengan kawan-kawan PSMIL Unpad
Dengan kandidat Ph.D PSMIL Unpad – Bandungers in the Hague – Dengan Ketua dan Presidium PPI Kota Den Haag
Saya sama sekali tidak pernah membayangkan akan tiba di kota yang sampai saat dua pekan kedatangan ini masih begitu mengesankan karena ketentraman dan keteraturannya. Jika mengingat ke belakang, justru ini hadir setelah saya memutuskan untuk “berputus asa” melanjutkan sekolah ke tingkat magister di luar negeri. Hingga buku-buku yang menawarkan mimpi ke luar negeri seperti karya-karya Andrea Hirata telah saya “campakkan” semangatnya dan saya picingkan mata bila melihat judul-judul sejenisnya. Hingga saya sudah bercanda dengan kawan yang “senasib” untuk membuat buku antitesis buku-buku yang bercerita tentang kesuksesan ke luar negeri, “Kisah Sukses Gagal ke Luar Negeri.” Hahaha
Sejak dari 2011 saya sudah mencoba melamar ke berbagai beasiswa dan universitas di luar negeri. Dengan bekal nilai indeks prestasi dan Bahasa Inggris (TOEFL) yang tidak terlalu besar, saya memberanikan diri untuk itu. Saya agak cukup percaya diri karena bekerja di salah satu badan internasional di Jakarta kala itu, dan rekomendasi kerap diberikan oleh pimpinan di tingkat Indonesia-nya. Namun setidaknya yang saya hitung sudah lebih dari 7 kali melamar, tidak ada yang tembus. Rekomendasi juga sering saya minta dari dosen di kampus tempat saya mendapat gelar sarjana. Bolak-balik ke salah satu ruangan kampus itu dan sempat membuat merah muka karena ada dosen yang nyeletuk, “Kirain kamu sudah di Belanda.” Padahal saya sama sekali tidak pernah memberitahukan tujuan negara saya saat itu, dan Belanda juga tidak termasuk di dalamnya.
Pernah sekali waktu saya pulang dari kerja yang sifatnya masih magang, malam hari, mencari kantor pengiriman paket untuk mengirimkan formulir pendaftaran program konsorsium master di Eropa dalam bentuk hardcopy. Harga pengirimannya saja sepertiga dari bayaran saya sebulan magang. Atau saya pernah benar-benar mengikat kepala dengan kain di kamar kostan untuk menghabiskan lima set latihan TOEFL secara mandiri.
Saya yakin di luar sana masih banyak kawan yang lebih dramatis perjuangannya untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan di luar negeri. Tapi hingga di satu titik, salah satu jargon saya, “Pejuang Ga Boleh Cengeng!” seperti terlupakan dan dimaklumkan sebagai ganti strategi. Pemaklumannya seperti ini, “Okelah saya belum sanggup untuk mencapai master di luar negeri, tetapi waktu terus berlalu, maka alternatif lain harus diambil. Masih bisa kesempatan untuk doktor nanti. Sekarang saya akan cari sekolah dalam negeri saja.”