Awas: Tipuan Mimpi dan Perjalanan

by Fadhli

Memang perjalanan itu selalu mengasyikkan. Tentu saja buat yang menyukainya, karena tidak semua orang mempunyai minat yang sama. Walaupun hidup kita ini aslinya perjalanan juga. Dari satu waktu ke waktu berikutnya. Dari satu tempat ke tempat berikutnya.

Bagi para traveler atau backpacker, bisa jadi perjalanan adalah profesi utama dalam hidupnya, dan yang lain adalah (mungkin) sampingan. Bekerja supaya dapat uang untuk membiayai perjalanannya. Abis itu jalan lagi. Kerja lagi. Jalan lagi. Begitu terus. Tapi itu juga hanya mungkin, dan terlalu mensimplifikasi. Bisa ia, bisa tidak.

Dan belakangan saya melihat euforia yang cukup tinggi di kalangan muda-mudi Indonesia untuk melakukan perjalanan. Baik perjalanan di dalam negeri dengan dalih wisata, jelajah alam, dan lain-lain jika ada. Atau, perjalanan ke luar negeri dengan dalih studi, konferensi, pertukaran pelajar, pertukaran jodoh (#ups, agak sulit kalo yang ini.. :D), atau sekedar wisata, keliling Eropa, Asia, dan sebagainya. 

Paman saya pernah bilang (kira-kira), “Pencapaian anak muda sekarang ke luar negeri lebih cepat dari generasi kita.. Dulu orang masih sedikit yang bisa ke luar negeri, dan rata-rata tatkala usianya sudah mulai menua..“, kecuali memang mungkin orang yang berpunya. Sekarang, orang di awal usia 20an sudah banyak yang bisa ke luar negeri, dengan berbagai alasan yang sudah disebut tadi.

Euforia itu (menurut saya) nampaknya seiring dengan banyaknya motivator-motivator yang bermunculan dengan tagline “Bermimpilah selagi gratis,” “Bermimpilah maka akan terwujud,” “Raih Mimpimu,” dan sebagainya-sebagainya, yang intinya: MIMPI. Plus buku-buku yang menceritakan kisah perjuangan mewujudkan perjalanan ke luar negeri beberapa sudah dibuatkan filmnya, atau buku-buku saku traveler yang mengiming-imingi paket perjalanan murah. Biasanya di buku-buku perjalanan itu juga disisipkan kata-kata motivator tentang indahnya mimpi ke luar negeri. Klop!

Lalu banyak orang yang terobsesi mengejar mimpinya melakukan perjalanan. Dan saya akui, saya salah satu di antaranya, walaupun bukan karena motivator dan buku-buku itu. Banyak teman juga yang ga suka motivator dan buku-buku itu tapi suka jalan-jalan.. hehe

Hingga di saat mimpi perjalanan sudah mulai memenuhi pikiran, “Ke mana, ke mana, ke mana.. jalan ke mana lagi abis ini?” “Pekan ini ke mana ya?” “Ini libur panjang jalan ke mana ya?“, dan nampaknya mulai tidak rasional mengingat keuangan yang menipis, tapi terus aja jalan dihajar, sehingga ga terpikir kapan mau beli mahar?? #eyyaaa.

Di situ pikiran saya bertanya, “Terus, apa yang lo cari dari perjalanan lo? apa yang lo harep??

Apakah:

a. Supaya ada bahan update status di facebook atau twitter atau friendster (masih jaman??). Sebelum perjalanan, bikin status: “Siap-siap nih jalan ke Botswana.” ada yg komen, “WoW! ceMUngudH eAaaa Kakaaa…” (sumpah, geli! haha). Update pas udah sampai, “Ketemu King-kong berbulu lebat,” (–> ga penting, King-kong emang berbulu lebat). Abis pulang unggah foto-foto bergaya, dengan muka close-up hampir nutupin pemandangan belakang, gara-gara foto sendiri dengan tangan dijulurin ke depan. abis itu dikomen, “Wah, jalan-jalan terus ya, asyiiik.. kapan-kapan ajak-ajak dooong!”, atau

b. Merasa heroik dan berperasaan senasib dan sepenanggungan, dan mengidentifikasi diri menjadi follower (pengikut) penulis buku-buku, “Laskar Pemimpi,” “Tanah 3 Warna, 4 Sehat, 5 Sempurna,” “9 Kali Musim Panas, yang ke 10 Gugur,” dan sebagainya, padahal belum tentu juga penulisnya nge-follow-back (koq jadi twitter??). Mengejar gengsi dan aktualisasi, membuktikan diri bisa, berprestasi, dll.. (halah, halah, halah), atau

c. Pelarian dari kehidupan nyata, setelah stress bekerja sehari-hari, atau

d. Ga ada alasan apa-apa, yang penting seneng aja jalan-jalan, atau

e. Lain-lain…

Nah, sewaktu-waktu mungkin perjalanan kita mesti direorientasi. Mudah-mudahan ada hal penting yang menjadi alasan kita berjalan, dan pengalamannya bisa makin memperkaya hidup, walaupun ga harus diungkap di depan umum. Natural aja. Saya juga mungkin tidak akan berhenti melakukan perjalanannya, tapi mungkin mulai sekarang saatnya saya berpikir, “mengapa melakukan perjalanan?“, bukan sekedar, “bagaimana saya sampai ke sana?

– Depok, 4 April, setelah lama ga nulis-