Susur Gua (Caving) Buni Ayu: Mantap!

by Fadhli

Kali ini saya akan menulis selintas perjalanan kami ke Gua Buni Ayu. Sebuah gua berjenis karst di daerah Nyalindung, Sukabumi. Masih sekitar 40 km lebih dari perkotaan Sukabuminya menuju arah Sagaranten.

Awalnya saya tertarik karena melihat foto di akun facebook milik teman anggota Mapala yang sedang diturunkan melalui sebuah lubang dengan peralatan tetalian (kalau tidak salah namanya single rope technique). Uniknya pula, dia menggunakan pakaian semacam pekerja tambang.

Setelah mencari informasi dan bertanya padanya, barulah saya tahu itu adalah aktivitas vertical caving, atau menyusur gua yang mulutnya bersifat vertikal, tidak seperti mulut gua yang menganga dan bisa langsung dimasuki. Dalam istilah pengelola wisata di sana, aktivitas ini disebut minat wisata khusus.

Berbekal nomor kontak pengelola aktivitas caving yang diberikan teman tadi, saya mengatur rencana perjalanan dan memesan tempat. Ada 15 orang yang bergabung, termasuk saya. 

Di antara kami belum pernah ada yang ke sana. Namanya juga ngetengmania, modal nekat saja, dan sedikit cari tahu dari internet melalui blog-blog orang yang sudah pernah ke sana. Perjalanan pun diatur dengan cara ngeteng, demi keamanan dan keselamatan ekonomi masing-masing, hehe.

Jumat sore, 23 Maret 2012 kami menyepakati titik kumpul di Stasiun Bogor. Rencananya adalah menggunakan kereta api Bumi Geulis menuju Sukabumi. Jadwal keberangkatan hanya ada satu kali sehari, yaitu jam 5 sore. Tiketnya hanya 8000 rupiah.

Kepulan asap mulai keluar dari lokomotif dan dimulailah perjalanan. Tidak ada aktivitas khusus dalam perjalanan, selain karena kami berpencar-pencar gerbong, kereta pun cukup penuh sehingga tidur menjadi pilihan yang paling bijaksana. #apa _sih

Sekitar jam 19.30 tiba di Stasiun Sukabumi, sebenarnya saya pun tidak cukup tahu ke mana lagi kaki ini harus dilangkahkan. Yang saya ingat simpel saja: sewa angkot. Masalahnya di lokasi, angkotnya beragam dan mengerubungi kami. Hehe.

Alhasil terjadilah dialog cukup alot dengan seorang calo angkot, dan saya sempat diculik ke Rengasdengklok sebelum memproklamasikan keberangkatan #halah, maksudnya saya sampai dibawa oleh calo angkot ke suatu pasar. Di pasar itu akhirnya saya menyewa dua angkot dengan harga yang cukup rasional.

Perjalanan yang masih “sore” jika dibandingkan dengan kehidupan Jakarta di waktu yang sama, ternyata sudah cukup horor di tempat ini. Selain jalan yang berliku, gelap, dan kadang menyusuri pinggir tebing, si sopir juga tak henti menggas sambil bercerita mistis. Untung tidak ada tim kami yang sampai melambaikan tangan ke kamera.

Memasuki gerbang daerah wisatanya tak kalah ngeri. Kiri kanan pepohonan lebat, jalur yang rusak dan berbatu, tidak ada penerangan, sepi. Pikiran saya bilang seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Takutnya si sopir dan angkot ini juga mistis? #lebay

Oalah, ternyata saya salah kira. Setelah betul-betul memasuki area camp sudah terpasang layar dan ada kelompok yang sedang menonton film. Ini bukan layar tancap atau wayang kulit, tapi film yang dipantulkan dengan LCD. Canggih. Memasuki saung utama, malah ada TV kabel, dengan sound system.

Kami pun bertemu dengan pihak pengelola yang ramah dan humoris. Ngobrol-ngobrol ringan sambil makan malam, pengelola pun menyuguhi kami dengan tayangan video tentang seluk-beluk gua yang akan kami susuri besok.

Dalam rangka menghemat energi, kami menyegerakan istirahat. Setiap 3 orang dapat 1 bilik. Rencananya, besok pagi sekitar jam 7 kami akan memulai turun gua.

Paginya, beberapa orang komplain tentang cuaca, “katanya sama kayak Jakarta, tapi tadi malem dingin banget, mana kalo bilik itu kan berronga, jadi angin masuk, mana ga bawa jaket.” Saya senyum-senyum aja, karena nasib saya serupa, cuma pakai sehelai kaus dan celana sebetis, sarung pun tipis. Untung aja ga ujan, becek, ga ada ojek. Hehehe. Tapi info cuaca itu sudah saya konfirmasi ke pengelola dan jawabannya, “Sama seperti Jakarta.” Mungkin malam itu cuaca pengen membedakan diri dengan Jakarta. Hehehe

Akhirnya, setelah sarapan dan pemanasan ringan, kami bersiap. Barang-barang elektronik dan makanan dimasukkan dalam dry bag. Wearpack dan karabiner dipakai. Jadilah kami semua seperti Naruto Shipuden dari Desa Nyalindung. Cyaat…

Trekking sekitar 5-7 menit dari base camp melalui beberapa rumah warga, akhirnya kami tiba di mulut gua. Sekitar pukul 8, satu persatu orang diturunkan sejauh sekitar 20 meter ke bawah tanah dengan bantuan guide.

Setelahnya kami menyusur gua itu. Sebenarnya jalurnya relatif searah, tidak banyak cabang. Tapi jangan meremehkan medannya. Hampir sepanjang jalan itu kenangan, lho? Maksudnya sepanjang jalan itu bersama dan mengikuti aliran air. Basah? Sudah tentu. Ada yang dalamnya cuma sebetis, naik sampai paha, perut, bahkan dada atau leher.

Belum lagi pose tiarap, mencicak ke dinding karena di samping lubang, atau menuruni batu dengan bantuan tali yang membuat beberapa peserta tercebur ke air karena lepas pegangan saat menuruni batu. Beruntung dengan kerjasama tim, tidak ada yang terluka parah.

Di saat berhenti sejenak untuk istirahat, beberapa kawan (terutama cewek) bertanya, “Abis ini masih ada lagi? Medannya gimana?” Saya jawab khas ‘ala ngetengmania, “Ga tau juga” namanya kan belum pernah ke sini. Hehe. Tapi petunjuk dari guide masih ada medan yang menantang.

Dan medan yang dimaksud adalah lumpur. Walaupun lumpurnya ga hidup, tapi tetap saja membuat terseok. Boot peserta banyak yang terbenam akibat kedalaman lumpur bisa sampai selutut. Kakinya sih berhasil terangkat, eh, bootnya nunclep. Teman saya sampai menggali lumpur untuk membantu mengembalikan boot. Semacam ospek alam begini.

Dan, belum selesai. Justru saat perjalanan nyaris berakhir, tantangan muncul kembali. Menaiki tangga buatan dari tali baja dan webbing yang vertikal 90 derajat. Tangganya sempat putus beberapa kali. Para peserta wanita cukup kesulitan karena ukuran pijakan tangga yang relatif kecil.

Walaupun demikian, pada akhirnya semua peserta berhasil naik. Dan akhirnya tiba juga melihat cahaya di luar gua… Beberapa komentar yang saya ingat setelah itu, bahwa medannya tidak seperti yang mereka kira sebelumnya, lebih sulit tentunya. Hehe. Maaf, maaf.

Setelah kotor-kotoran di dalam gua, kemudian kami bersih-bersih di air terjun Bibijilan. Perjalanan ke air terjun dari tempat keluar gua lumayan juga, bisa 25 menit. Dan setelah bersih-bersih, kami kembali ke base camp, perjalanannya pun mungkin memakan waktu 30 menitan.

 

Total waktu yang dibutuhkan sedari memasuki gua sampai kembali ke base camp adalah 6 jam. Alasan yang sangat pantas untuk langsung melahap makan siang setiba di base camp pukul 15.00.

Karena angkot sewaan sudah menunggu dan saya pun sudah mulai capek menulis ini, hehe, kami bersiap pulang. Jam 17 kami berangkat meninggalkan tempat wisata. Tidak seperti rencana awal yang akan naik bis langsung ke daerah masing-masing dari terminal Sukabumi, kami memutuskan naik elf jurusan Bogor. Dari Bogor lanjut naek kereta ke Depok, barulah masing-masing melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.

Terakhir, saya mohon maaf kepada semua peserta jika perjalanannya di luar ekspektasi masing-masing. Mohon maaf kalau tidak sempurna juga itinerarynya, karena yang “sempurna” itu kata Soleh Solihun adalah lagu Andra & The Backbone 😀

Ingatlah juga moto ngetengmania, “Jangan percaya kepada itinerary, kecuali hanya sedikit.” Percayalah sepenuhnya hanya kepada Allah… Hehe.

Tabik

nb: Foto-foto diambil dari koleksi Waway, Lila, dan Ridho (mhn izin tampil, trms ya…)