Selintas Tulis

Tulisan Sekali Duduk..

Month: June, 2011

Ga Konsen

Pasti bukan hanya saya yang pernah ngalamin ini (halah, udah salah ngajak2 orang). Kalo lagi ga konsen suka jadi lupa hal-hal kecil sekalipun. Bener ga?? Ini contohnya:

Ini terjadi baru kemaren. Saya hendak mengonfirmasi kehadiran para calon peserta acara kantor via telepon.
Saya: “Selamat Siang Ibu, saya mau konfirmasi apa Ibu bisa hadir di acara besok??
Ibu X: “Acaranya jam berapa ya, Mas?”
Saya: “Oh ia, jam berapa ya, Bu?” –> koq malah yang ngundang yang nanya balik… jelas kesalahan fatal… wkwk…
Udah gitu saya pegang dulu sebentar telepon, dan nanya ke temen di ruangan, ternyata dia juga ga tau (karena emang bukan bidangnya). Akhirnya saya bilang ke si Ibu di seberang telepon biar nanti saya hubungi lagi untuk info lebih jelas.
Eh, dan tahukah?? padahal agenda kegiatan tuh tergeletak dari tadi di deket telepon saya. Geblek juga ya… Haduuh…

Setelah itu saya menghubungi orang yang lain lagi. Oh ia, di meja saya ada dua telepon, satu untuk telepon ke luar, yang yang satu untuk internal. Telepon yang untuk ke luar deket dengan tangan yang kiri. Sementara yang satu lagi posisi pesawat teleponnya dekat ke tangan kanan saya.
Nah, kali ini saya mau nelepon ke luar. Saya pijit nomornya dan suara otomatis dari seberang bilang, “Tekan ekstensi yang akan anda hubungi, atau tekan 0 untuk bantuan operator“. Saya langsung tekan tuh angka 0, tapi koq suara di seberang masih bilang, “Tekan ekstensi yang akan anda hubungi atau tekan 0 untuk bantuan operator“. Dan ga ada suara tombol kepijit.
Eh, saya baru sadar, ternyata dari tadi tuh saya mencet nomor di pesawat telepon yang berbeda. Aduh ojaan… 😀

Perpaduan yang sempurna antara ngantuk, buru-buru, sama ceroboh. Wkwk

Bela Diri Nanggung…

Belakangan ini saya menonton beberapa film aksi, dan itu emang salah satu tipe film kesukaan selain yang berbau perang, intelijen, atau dinamika/realita sosial. Yang terakhir adalah Yamakasi 1 dan 2, yang isinya tentang orang-orang yang ahli loncat-meloncat dari satu bangunan ke bangunan lain, dicampur dengan kemampuan beladiri yang mereka punya, menjadikan mereka terlihat hebat di film itu. Sebelumnya adalah The Warrior’s Way, tentang seorang ksatria pedang. Yang keren juga adalah Karate Kid 2, Jackie Chan.

Melihat aksi-aksi itu sebenarnya pengen bisa ngikutin mereka (kayak bocah banget ya… wkwk), badannya atletis, jago beladiri, lincah dan selalu siap-sedia di manapun berada. Melihat film itu saya jadi mengingat beberapa beladiri yang pernah saya ikutin, dan semuanya nanggung! Ga ada yang beres. Gimana mau jadi jagoan coba?? Hhe…

1. Waktu SD, ikut karate, seinget saya, kelas 4 SD sudah pegang sabuk coklat (beberapa strip lagi menuju hitam). Tapi sekarang saya sadar, waktu dulu mungkin cuma sebagai ekstrakulikuler dan gaya aja kali, karena pada prakteknya jarang digunakan, ditampol sedikit aja saya masih nangis, dimarahin dikit sama ortu juga nangis, hhe… Saya pernah dipuji Sensei karena tendangan kaki kanan saya termasuk yang bagus. Latihan waktu itu sudah sampai kuat diinjak perut oleh Sensei. Juga pernah bergabung dengan Jambore se-Kabupaten/kota kayaknya yang di acara itu mata kami ditutup malam-malam dan becek-becekan, ditetesi lilin, dan sebagainya. Latihan rutin waktu itu setiap jumat malam, dan minggu pagi, kadang ditambah minggu sore di pusat pendidikan perbekalan dan angkutan TNI AD di Cimahi.

2. Waktu SMP, saya ikut beladiri yang namanya cukup aneh, Tawo Po Liong Netral. Saya tertarik karena mendengar kisah hebat guru-gurunya yang masih muda, konon kebal dan bisa menggunakan tenaga dalam. Saya pernah melihat teman saya yang berdarah, kemudian dengan diusap oleh salah seorang guru, bisa kering itu darah. Di beladiri ini kayaknya saya sampai sabuk hijau deh, selangkah lagi untuk diisi (tenaga dalam). Saat itu latihan sudah sampai mengalirkan tenaga dalam. Dada kuat dihantam bata merah, bahkan batanya yang pecah. Perut kuat dipukul dan diinjak. Kalo senjata, sudah lumayan mahir menggunakan double-stick, seenggaknya gaya muter-muterin kayak jet-li. Tapi kalau ditakut-takutin sama hantu, ciut. Keluar malem sendiri masih ngeri. Kalo ada jurit malem kenaikan tingkat berharap ga dapet jatah. Pendekar apaan tuh, penakut. Wkwk

Tapi akhirnya saya tidak melanjutkan, karena khawatir dengan metodenya yang ghaib-ghaib itu, takut kenapa-kenapa. Lagipula saya pernah melihat mereka menggunakan mantera-mantera. Ah, jadi ga sesuai dengan kaidah agama yang saya ketahui. Setelah ada ruqyah, saya mencoba ruqyah mandiri pake kaset waktu kuliah, dengan niat menghapus kali aja masih ada yang tersisa dari ilmu-ilmu itu yang harus dikeluarin… hehe…

3. Waktu SMA ga ikut apa-apa, walaupun sempat tertarik ikut Tifan, beladiri asal Mongol. Waktu itu karena ada teman di rohis yang ikutan dan agak tertarik, tapi ga sampe ikut.

4. Saya memulai beladiri yang berbeda waktu kuliah, tingkat 2-3: Tae Kwon Do. Di sini saya sampe sabuk hijau. Yang lebih banyak dilatih adalah kaki dan tentu saja fisik. Saya menikmati lebih di latihan fisiknya sebenarnya. Agar kuat stamina. Selain itu, Tae Kwon Do enak karena gerakan mengandalkan kaki. Kalau mau latih tanding kadang melihat cuplikan-cuplikan di You Tube untuk ngikutin gerakannya. Tapi saya belum cukup berani untuk ikut kejuaraan, walaupun ditawarkan, berhubung kalau ikut saya akan berada di kelas fly yang itu orangnya pada lincah-lincah, dan pasti banyak pesertanya. Keburu capek. Hehe… (alasan! padahal mah takut, wkwk)

Kapan lagi ya bisa ikut?? Cukup susah emang cari waktunya… Tapi saya berharap bisa ikut lagi… Karena kecenderungan temen-temen lain yang saya liat, setelah lulus (mohon maaf) semakin lama koq semakin gemuk?? Hhe…

Distop Polisi, Nyambung ke Emosi

Minggu lalu (29/5), mobil yang saya tumpangi distop polisi. Mereka melakukan itu karena menuduh saya tidak mengenakan sabuk pengaman. Dan saya disuruh berbohong untuk mengatakan itu. Ya tentu saya tidak mau, karena saya sangat haqqul-yakin menggunakannya… Saya tetap ngotot, sampai supir yang membawa kami mengambil jalan tengah (tapi gak nyogok ya…), dan mereka membiarkan kami pergi lagi… Beuuh… Dari peristiwa itu, saya jadi teringat beberapa kenangan masa lalu: yang pertama terkait dengan distop polisi juga, yang lain berkaitan dengan emosi… karena peristiwa kemarin itu membuat saya dinasehati si sopir, jangan emosian… hhe…

Cerita SMA: Mau lari dari Polisi, eh, Jalannya Buntu
Sewaktu SMA, teman akrab saya (sekarang dia sedang kuliah di Mekkah, Universitas Ummul Qura) sering berbaik hati membonceng saya sampai ke jalan raya dekat rumahnya, dan dari jalan itu saya tinggal naik kendaraan umum sekali ke rumah. Suatu hari, pulanglah kami seperti biasa. Tiba-tiba, terlihat dari kejauhan beberapa polisi nampak sibuk di depan jalan yang kami tuju. Kami segera sadar itu adalah razia. Kalau razia orang ganteng ga masalah, karena yang ga ganteng doang yang akan ditangkep, dan saya yakin ga ditangkep :p hehe. Tapi, ini razia surat-surat. Dan, teman saya itu juga segera ingat bahwa dia tidak bawa SIM dan STNK.

Tapi tampaknya si polisi sudah melihat gelagat grogi kami. Ditunjuklah kami dari jauh, tanda diminta berhenti. Mencari selamat, pura-puralah kami tidak melihat. Untung di depan kami ada gang, dan dengan inisiatif teman saya membelokkan motornya ke gang itu. Fiuuh, selamat.

Nyatanya, itu gang buntu. Pantas dari kejauhan, si polisi tadi berjalan santai juga ke arah gang itu. Nampaknya itu memang jebakan. Dan akhirnya, kami bertemu dengan si polisi di dalam gang buntu. Motor teman saya bersama dia harus digelandang ke kantor polisi. Kasian dia, sementara saya, disuruhnya saja pulang… Ya Allah, ampuni saya… hhe…

Emosian
Saya termasuk orang yang ga bisa banyak mengekspresikan kemarahan, terlebih ke orang yang sudah kenal akrab, banter-banter saya diem kalo emosi, dan lebih sering ngalah. Tapi kalo ke orang yang gak terlalu kenal, kalau marah kadang saya bisa meluap. Seperti ke polisi yang kemaren menstop mobil yang saya tumpangi. Masalahnya, dia menyuruh saya berbohong dan mengatakan tidak memakai sabuk pengaman, padahal saya pakai. Habis sudah saya setengah teriak-teriak berbicara kepada polisi, dan tentu saja itu jadi senjata balik si polisi untuk membuat kasus menjadi ribet. Untung saja pak sopir segera mengambil inisiatif mengambil jalan tengah.

Emang kalo udah emosi itu kadang pikiran jadi ga kekontrol, jadi nafsu-nafsu gimana gitu. Kalo waktu kecil, pasti dicampur nangis sama teriak-teriak. Hhe…

Ini beberapa kasus yang saya ingat, terkait dengan emosi yang akhirnya saya luapkan:
1. Waktu masa kuliah dan masih aktif tae-kwon-do. Waktu itu berlatih tanding. Awalnya saya bermain santai saja, ga ngoyo, selain emang ga jago, takut sama lawan (hhe…) juga ya emang karena latian, selon aja kali. Eh, tiba-tiba saya tersambar tendangan (entah kepala atau dada waktu itu), dan muka lawan terlihat agak serius. Ya okelah kalo begitu, ikan bawal mandi di kali, lo jual gua beli… 😀 Cari celah, pake tendangan balik sambil loncat, dicampur emosi, saya arahin ke kepalanya. Jatuh! Karena emosi, hampir saya tendang lagi dia pas udah tergeletak di tanah, untung ga jadi… Kalo seandainya jadi, bisa kena penalti, dan yang pasti bukan sikap ksatria sejati… halah… 😀

2. Sewaktu SMA awal atau SMP akhir gitu ya, tepatnya saya lupa. Maen futsal. Kayaknya waktu itu posisi lagi kalah. Udah gitu saya inget, kaki saya diambil lawan. Terjatuh di tanah, saya segera meludah dan menepuk tanah tanda marah. Eh, wasit keburu ngeliat, dikasih kartu kuning pula. Padahal hampir teriak-teriak mengawali keributan itu… Hhehe…

3. Bermain bola waktu masih SD. Entah penyebabnya apa saya lupa, yang jelas saya emosi dan sambil loncat, saya tendang dada kawan saya (seakan tendangan terbang), sampai dia terjatuh dan ga sadar beberapa saat. Dan saya merasa takut saat Ibunya datang. Untung saja tidak terjadi hal yang tidak-tidak, mungkin dia hanya shock terkena tendangan saya. Ngeri banget ya, kecil-kecil sok jago.